Tantrum dan Ledakan Emosi pada Anak

Tantrum adalah ledakan emosi yang sering terjadi pada anak-anak, terutama pada usia balita (2-4 tahun). Tantrum ditandai oleh perilaku seperti menangis keras, berteriak, membanting barang, bahkan terkadang memukul atau menggigit. Hal ini adalah bagian dari perkembangan anak, karena pada usia ini mereka masih belajar memahami dan mengekspresikan emosi, tetapi kemampuan verbal mereka belum sepenuhnya berkembang sehingga sulit mengungkapkan kebutuhan atau keinginan secara efektif (Karreman et al., 2020).

Tantrum pada anak biasanya terjadi ketika mereka merasa frustrasi, lelah, lapar, atau tidak bisa mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Pada usia 3-4 tahun, anak-anak juga mulai mengembangkan rasa kemandirian, yang membuat mereka ingin melakukan banyak hal sendiri. Ketika mereka merasa gagal atau dihalangi, mereka cenderung mengalami tantrum sebagai cara untuk mengekspresikan perasaan mereka (Gartstein et al., 2018). Mengelola tantrum membutuhkan pendekatan yang tenang dan sabar. Beberapa strategi yang dapat membantu orang tua dalam meredam tantrum antara lain:

a. Tetap Tenang dan Jangan Bereaksi Berlebihan: Anak sering kali memperhatikan bagaimana orang tua merespons perilaku mereka. Jika orang tua tetap tenang, anak akan merasa lebih aman dan perlahan belajar untuk menenangkan diri. Bereaksi dengan marah atau berteriak hanya akan memperparah situasi (Lansbury, 2014).

b. Alihkan Perhatian Anak: Jika memungkinkan, coba alihkan perhatian anak pada hal-hal yang mereka sukai atau sesuatu yang menarik. Misalnya, menawarkan mainan favorit atau mengajak mereka melakukan aktivitas lain.

c. Berikan Batas yang Jelas tetapi Tidak Terlalu Ketat: Menjelaskan batasan secara jelas dapat membantu anak memahami perilaku apa yang diterima dan yang tidak.

d. Berikan Anak Waktu untuk Tenang: Setelah tantrum mulai mereda, biarkan anak menenangkan diri dalam waktu beberapa menit sebelum mengajaknya berbicara tentang apa yang terjadi.

e. Ajarkan Anak Menyebutkan Emosinya: Latih anak untuk mengenali dan menamai emosinya. Ini membantu mereka mengungkapkan perasaan dengan kata-kata ketimbang perilaku agresif.